Minggu, 27 Desember 2015

Ini Adalah Pilihan, Bukan Takdir. "Anak Jalanan"

Kadang miris liat anak-anak jaman sekarang yang bermetamorfosis menjadi "anak jalanan", mereka masih kecil, masih polos dan seharusnya mereka belum boleh merasakan seperti apa "kejamnya dunia" dan "ganasnya kehidupan". Seharusnya mereka merasakan apa yang anak normal lain rasakan. Di usianya, seharusnya mereka mendapatkan perhatian orang tua, bermain dengan sesama, duduk dibangku sekolah dan mendapatkan pendidikan yang seharusnya mereka dapat.

Tapi apa yang terjadi pada mereka? Mereka harus menghabiskan waktu hidupnya dijalanan. Iya, dijalanan. Mereka harus mencari uang sendiri dan dibentuk menjadi seorang "dewasa" dengan casing  bocah agar mereka bisa bertahan hidup. Mereka masih kecil dan sudah berani merokok, ngelem, bahkan minum oplosan, dan yang lebih menghawatirkan lagi, mereka juga sudah mulai melanggar norma sosial yang ada dimasyarakat, hingga mereka mendapatkan kesan negative dari orang banyak.

Apakah ini takdir mereka? Bukan, ini adalah pilihan mereka hingga akhirnya mereka harus mau menerima konsekuensi yang akan mereka terima dengan pilihannya. Lahir kedunia itu adalah takdir, tapi menjadi baik atau buruk adalah pilihan. Saya tidak bisa menghakimi apakah keputusan yang mereka lakukan adalah baik atau tidak. Apakah menjadi mereka itu adalah perbuatan tercela atau tidak. Karena baik buruknya seseorang tak bisa hanya dilihat dari luar dan dari apa yang mereka lakukan.  Namun, dimata manusia terkadang penampilan luar adalah indikator seperti apa seseorang yang mereka pandang itu.

Meskipun tidak semua "anak jalanan" itu "buruk", tapi dalam mindset orang banyak, mereka sudah mendapatkan kesan negative dalam pandangannya. Padahal tak jarang ada sebagian "anak jalanan" yang bisa berprestasi tanpa meninggalkan sekolahnya  ada juga yang mampu mencari uang dengan cara yang halal, meskipun mereka hidup dijalanan, dan ada juga yang mampu menghidupi keluarganya dengan pekerjaan mereka. Namun, mereka yang baik terkadang menjadi minoritas dalam sebuah konunitas. Masyarakat sudah terlanjur memandang mereka tak berarti apa-apa.

Kadang saya berfikir kemana orang tua mereka hingga mereka rela membiarkan anaknya seperti ini? Mungkin mereka lupa bahwa anak adalah amanah yang harus dijaga, anak adalah titipan sang maha kuasa yang harus orang tua bina. Apakah yang orang tua rasakan ketika anaknya berwujud menjadi seperti ini? apakah yang mereka lakukan melihat keadaan anaknya seperti ini? Saya yakin, tidak ada satu orang tua pun didunia ini yang ingin anaknya "gagal", mimpinya hancur dan masa depannya tak beraturan. Kalaupun ada orang tua yang mebiarkan anaknya seperti itu, saya yakin jauh dalam lubuk hatinya mereka juga menginginkan anak mereka tumbuh normal seperti anak lainnya. Ini adalah pilihan mereka, dan ini resiko yang harus mereka ambil.

Kondisi ekonomi biasanya menjadi alasan mereka menjalani hidup seperti ini. Stress, tingkat kebutuhan yang tinggi hingga gaya hidup dan lingkungan yang membuat mereka seperti ini. Sebenarnya dalam agama islam, hal seperti ini bisa disiasati. Bisa ditanggulangi. Dengan cara apa? Dengan cara kita mampu memahami dan mengamalkan ilmu agama islam dengan baik. Memang, ini semua tidak mudah, namun jika kita ada keinginan belajar, Allah akan membukakan pintu untuk kita meraihnya.

Contohnya himpitan ekonomi yang menjadi salah satu alasan anak-anak menjadi "anak jalanan", tak usah hawatir dengan rezeki. Allah sudah menjamin bahwa setiap anak adam itu akan ditanggug rezekinya oleh Allah
"......Dan jika kamu khawatir menjadi miskin , maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (At-Taubah: 28).

......Maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Siapa yang Dia kehendaki? Kita tak akan pernah tau, karena hanya Allah yang mampu. Tugas kita hanyalah satu, menjadi hamba yang taat yang diridhoinya. Agar kita selalu ada dalam rahmat-Nya.

Rabu, 16 Desember 2015

Jangan Mudah Update Status Ketika Marah

Zaman sekarang manusia bukan lagi menjadi mahluk sosisal, tapi manusia sekarang sudah menjadi manusia media sosial. Bagaimana tidak, setiap apa yang mereka lakukan selalu terupdate dalam statusnya.

Bahkan kita bisa mengetahui kondisi seseorang hanya dari sebuah status. Entah dia sedang sedih, bahagia atau bahkan kecewa. Tak jarang ketika sedang memiliki masalah pun diumbar dalam sebuah status, bahkan status berisi amarah, entah kepada orang tua, saudara, rekan bahkan teman. Meskipun kita tak terlalu dekat, kita bisa mengetahui masalah yang mereka alami. Karena begitu mudahnya status itu diumbar.

Saya pribadipun tidak munafik, saya juga sering update status. Bahkan dulu saya sering update tentang keluhan yang saya rasakan, masalah yang saya alami. Hingga keresahan yang saya takuti. Tapi kemudian ada beberapa orang yang sayang kepada saya. Mereka mengingatkan saya, bahwa tak selayaknya keluhan yang saya rasakan saya utarakan dalam sebuah status. Kalaupun saya marah, alangkah lebih baik amarahnya saya simpan dan tak seharusnya orang lain tau.

Apakah saya terima masukan itu? Tentu saja tidak. Saya menolaknya mentah-mentah. Saya tidak terima dengan apa yang mereka katakan, saya merasa saya paling benar, saya yang merasakan. Dan mereka tidak berhak sama sekali untuk melarang saya. Tapi, seiring berjalannya waktu saya sadar dengan apa yang saya lakukan selama ini. Saya bahkan menyesal dan malu jika dulu saya hanya bisa mengeluh dan mengeluh. Hingga saya lupa untuk bersyukur kepada Allah. Alhamdulillah Allah memberi saya petunjuk untuk terus belajar dan belajar.

Ada satu untaian kata yang saya dapatkan dari sebuah buku karya @RonsImawan sang seleb tweet, atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Onyol" yang mengatakan "Media sosial bukanlah buku diary. Maka, jangan segala-galamu diumbar. Hidup bakal lebih terarah kala rahasiamu disimpan dengan pintar, aibmu dikubur dengan tegar."

Hidup kita akan lebih terarah kala rahasiamu disimpan dengan pintar dan aibmu dikubur dengan tegar. Itu point yang bisa kita dapatkan dari kutipan diatas. Yah simpan aib. Itu yang paling penting. Seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits "Dan barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, niscaya Allah menutup aibnya di dunia dan akhirat." (HR. Muslim)

Jadi, boleh kah kita update status saat kita marah? Tahan dulu, sabar dulu. Coba difikir ulang, apa yang akan kita utarakan dimedia sosial? Kata-kata kotor kah? Kata-kata kasar kah? Atau kita akan berkoar-koar dan membuka aib saudara kita? Atau mengumbar-ngumbar masalah kita? Naudzubillah... Makanya, hati-hati, cermati dan fikir kembali. Jika seandainya apa yang hendak kita utarakan hanya akan membongkar aib sendiri dan membuat luka orang lain, lebih baik urungkan niat kita. Ingat perkataan itu jauh lebih menyakitkan dibanding dengan pukulan. Apalagi jika diumbar dimedia sosial, sehingga semua orang tau atas apa yang kita utarakan.

Al-kalaamu yanfudzu maa laa tanfudzul ibaru, perkataan itu bisa menembus apa yang tidak bisa ditembus oleh jarum. Ingatlah, ketika kita sedang marah, setan dengan mudah masuk dan mengotori hati dan fikiran kita. Sehingga kita tidak bisa mengontrol apa yang kita katakan. Dan yang akan terjadi hanyalah sebuah penyesalan dengan apa yang kita katakan. Karena bisa jadi perkataan kita menyakiti mereka dan bahkan harga diri kita akan jatuh dengan kata-kata atau amarah yang kita utarakan.

Lantas apa yang harus kita lakukan ketika kita marah? Harus mengadu kepada siapa ketika amarah ini membuncah dan tak bisa ditahan lagi? Coba tenang, istighfar dan ambil air wudhu. Kita adukan semua keluhan itu kepada Allah, karena Allah adalah sebaik-baiknya penolong. Kalaupun kita ingin mengutarakan dimedia sosial, utarakanlah kata-kata yang baik, atau mungkin doa agar kita tidak mudah tersulut emosi kembali. Ingatlah, seseorang itu tercermin dari apa yang dia katakan.

Ketika kita mengumbar amarah yang sang membuncah dimedia sosial, mungkin tak sedikit orang yang ikut menjadi "kompor" dan membuat kita semakin emosi. Jadi simpanlah amarahmu, mintalah pertolongan Allah, agar kita senantiasa bersabar dan tetap tenang. Meskipun sulit, tapi tidak ada yang tidak mungkin jika kita tidak mencoba.

Sebelumnya saya mohon maaf. Saya tidak bermaksud untuk nyindir atau bahkan saya merasa lebih baik dan lebih benar. Saya pun masih sama, saya masih labil, dan terkadang dengan mudah juga mengumbar apa yang saya rasakan. Namun saya terus belajar dan belajar lagi. saya disini hanya ingin berbagi apa yang saya rasakan saja, semoga ada manfaatnya. Terimakasih 😊😊😊

Minggu, 06 Desember 2015

Sabar saat Sakit

Jika dulu saya pernah post di blog tentang "Semoga Sakit ini Menjadi Pelebur Dosa". Kali ini saya akan post juga tentang sakit. Tapi kali ini judulnya adalah "Sabar saat Sakit". Bisa jadi juga ini merupakan cerita continue dari post yang kemarin.

Pada dasarnya tidak ada satu orangpun manusia yang menginginkan rasa sakit. Tapi, rasa sakit itu pasti akan menghampiri setiap manusia. Mulai dari sakit yang ringan hingga sakit yang parah. Dalam ilmu kesehatan, rasa sakit juga bisa jadi sebagai reaksi dalam tubuh yang keluar dengan alami. Entah ada benda asing yang masuk, ataupun gangguan sistem kekebalan tubuh. kemudian tubuh mengeluarkan reaksi untuk melawan benda itu, entah dengan panas, muntah atau reaksi yang lainnya.

Sementara dalam agama islam, rasa sakit yang kita alami bisa jadi penggugur dosa-dosa kita, selain karena memang daya tahan tubuh kita sedang menurun. Rasa sakit juga merupakan pemberian dari Allah untuk setiap hambanya dalam menguji kesabarannya. Seperti yang sudah dijelaskan dalam sebuah hadist Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya”. (HR. Bukhari).

Sebelumnya saya mohon maaf, saya post diblog ini adalah pengalaman saya saat saya sedang sakit. Bukan karena saya ingin mengeluh atau bahkan saya ingin mengumbar tentang rasa sakit yang saya alami. Saya hanya ingin berbagi pengalaman, semoga bisa bermanfaat.

Dulu saya pernah berkomitmen pada diri saya sendiri kalo saya tidak ingin mengeluh apapun dimedia sosial ketika saya sakit. Tapi pada akhirnya saya ingin menyerah, saya ingin mengeluh dan membuat status tentang rasa sakit yang saya derita. Tapi saya berfikir ulang. Hingga akhirnya saya hanya membuat status berisikan doa-doa agar saya diberi kesembuhan. Meskipun secara tidak langsung itu mengisyaratkan saya sedang sakit.

Ini adalah rasa sakit yang paling lama yang pernah saya alami. Sebelumnya saya tidak pernah sakit selama ini. Alhamdulillah tidak sampai dirawat, saya meminta untuk rawat jalan saja. Hampir 1 minggu saya sakit dan keluhannya masih sama. Bosan, kesal, sedih, juga cape. karena hanya diam dan tidak banyak aktivitas yang bisa saya lakukan. Karena saya harus istirahat yang cukup dan menjaga makanan.

Saya mengeluh kepada bapak saya, kalo saya bosan dan jenuh dengan rasa sakit yang saya alami. Saya juga berkata bahwa ini adalah rasa sakit terlama yang pernah saya derita. Dengan bijak bapak hanya tersenyum dan berkata : "Sabar, nikmati saja rasa sakitnya, mungkin Allah ingin kamu istirahat. Bahkan bapak lihat kamu jadi lebih sering dzikir ketika kamu sakit. Bukankah itu baik? Karena kamu lebih sering mengingat Allah. Bahkan bapak liat, sekarang setiap makan selalu baca doa dan kamu lebih khusyuk ibadahnya." deg!! Saya hanya bisa tersenyum mendengar perkataan bapak tadi. Entah itu sindiran atau pujian buat saya.

Saya mengeluh lagi pada mamah karena rasa sakit itu datang lagi, mamahpun berkata dengan penuh ketenangan :" Tak apa, mungkin tubuh kamu ingin mnegeluarkan racun-racun yang ada dalam tubuh. Obat jangan lupa, jaga makanannya. Hati saya terhenyak haru, karena saya memiliki orangtua yang luar biasa, saat saya sedang sakit saya bisa merasakan betapa besar kasih sayang mereka kepada anaknya. Hanya saja selama ini saya tidak menyadarinya. Selalu ada hikmah dibalik semua kejadian. Hanya terkadang kita tidak menyadarinya karena kita terlalu fokus dengan "derita" yang kita alami.

Pagi-pagi saya sedang duduk bersantai dan berbincang dengan bapak. Seperti biasa bapak menanyakan keadaan saya, saya jawab seadanya kalo saya masih sedikit sakit. Tapi saya masih bisa menahannya. Bapak tersenyum sambil berkata :"Coba sekarang hitung usia kamu berapa tahun? Berapa lama kamu sehat? Berapa lama sakit? Rasa sakit yang saat ini kamu derita tak sebanding dengan nikmat sehat yang Allah beri. Masih pantaskah kamu mengeluh? Sabar, ikhlas. Pasti kamu bisa sehat.

Subhanallah...Lagi-lagi petuah dari bapak membuat saya jleb. Saya malu karena selama ini saya selalu mengeluh dengan apa yang saya alami. Dan point yang bisa saya ambil adalah saya harus ikhlas dengan rasa sakit yang saya alami, saya juga harus bersabar, bersabar dan bersabar.  Bukankah sabar itu memang tidak ada batasannya? Seperti hadist berikut ini "Aku akan bersabar sampai kesabaran tidak mampu lagi menghadapi kesabaranku. "(Imam Syafi'i rahimahullah). Lagipula buah dari kesabaran adalah surga seperti firman Allah "Apabila aku menguji hamba-Ku, kemudian dia bersabar, maka aku gantikan surga baginya." (H.R Bukhari)

Jadi Sampai kapan kita harus bersabar? Sampai kita lupa bahwa kita sedang bersabar. Itu salah satu hikmah yang bisa saya ambil saat saya sakit.
Allah begitu sayang kepada setiap hambaNya, hanya saja caranya yang berbeda. Tergantung bagaimana cara kita mengambil hikmah dari semua kejadian ini.